Efek Blog
Efek Blog
EVE - Wall-E

Kamis, 23 Mei 2013

Blended Learning

Pembelajaran Berbasis Blended Learning


Sekarang ini, kita telah memasuki masa yang disebut sebagai abad pengetahuan (knowledge age). Tahapan perkembangan budaya manusia terdiri atas empat tahap, yaitu: abad agraris (sebelum tahun 1880), abad industri (1880–1985), abad informasi (1955–2000), dan abad pengetahuan (1995–sekarang) (Galbreth, 1999). Tahapan tonggak-tonggak sejarah peradaban manusia tersebut dilalui melalui belajar sepanjang hayat. Pada abad pengetahuan, berbagai karakteristik yang melingkupi kehidupan sangat berbeda dengan karakteristik kehidupan pada abad industri dan abad pertanian. Pada abad pengetahuan teknologi utama yang menjadi landasannya adalah komputer, pada abad industri berupa mesin, sedangkan pada abad pertanian adalah bajak. Galbreth (1999) lebih lanjut mengidentifikasi karakteristik perkem-bangan ekonomi berdasarkan teknologi utama, ilmu yang digunakan, tujuan, keluaran, bentuk organisasi, pekerja utama, dan sifat-sifat produksinya disajikan pada tabel 1.
Gambar 1. Transormasi utama ekonomi dan pendidikan (Adaptasi dari Galbreth, 1999)
Tahapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berjalan mengikuti rumus deret hitung kemudian, pada periode belakangan berjalan menurut rumus deret ukur. Mula-mula lambat, makin lama makin cepat, dan sekarang ini, percepatan revolusi peradaban manusia dalam belajar sangat mengagumkan, yang belum pernah ditemui pada abad sebelumnya. Tabel 1. Karakteristik perkembangan ekonomi (Galbreth, 1999)

Natural Approach

 






Theory of language

Krashen and Terrell see communication as the primary function of language, and since their approach focuses on teaching communicative abilities, they refer to the Natural Approach as an example of a communicative approach. The Natural Approach "is similar to other com municative approaches being developed today" (Krashen and Terrell 1983: 17). They reject earlier methods of language teaching, such as the Audiolingual Method, which viewed grammar as the central component of language. According to Krashen and Terrell, the major problem with these methods was that they were built not around "actual theories of language acquisition, but theories of something else; for example, the structure of language" (1983: 1). Unlike proponents of Communicative Language Teaching, however, Krashen and Terrell give little attention to a theory of language. Indeed, a recent critic of Krashen suggests he has no theory of language at all (Gregg 1984). What Krashen and Terrell do describe about the nature of language emphasizes the primacy of meaning. The importance of the vocabulary is stressed, for example, suggesting the view that a language is essentially its lexicon and only inconsequently the grammar that determines how the lexicon is exploited to produce messages. Terrell quotes Dwight Bolinger to support this view:
The quantity of information in the lexicon far outweighs that in any other part of the language, and if there is anything to the notion of redundancy it should be easier to reconstruct a message containing just words than one containing just the syntactic relations. The significant fact is the subordinate role of grammar. The most important thing is to get the words in. (Bolinger, in Terrell 1977: 333).
Language is viewed as a vehicle for communicating meanings and mes­sages. Hence Krashen and Terrell state that "acquisition can take place only when people understand messages in the target language (Krashen and Terrell 1983: 19). Yet despite their avowed communicative approach to language, they view language learning, as do audiolingualists, as mastery of structures by stages. "The input hypothesis states that in order for acquirers to progress to the next stage in the acquisition of the target language, they need to understand input language that includes a structure that is part of the next stage" (Krashen and Terrell 1983: 32). Krashen refers to this with the formula "I + 1" (i.e., input that contains structures slightly above the learner's present level). We assume that Krashen means by structures something at least in the tradition of what such linguists as Leonard Bloomfield and Charles Fries meant by structures. The Natural Approach thus assumes a linguistic hierarchy of structural complexity that one masters through encounters with "input" containing structures at the "1 + 1" level.
We are left then with a view of language that consists of lexical items, structures, and messages. Obviously, there is no particular novelty in this view as such, except that messages are considered of primary im­portance in the Natural Approach. The lexicon for both perception and production is considered critical in the construction and interpretation of messages. Lexical items in messages arc necessarily grammatically structured, and more complex messages involve more complex gram­matical structure. Although they acknowledge such grammatical structuring, Krashen and Terrell feel that grammatical structure does not require explicit analysis or attention by the language teacher, by the language learner, or in language teaching materials.

Neuro-Linguistic Programming

About NLP

What is NLP? Apa itu NLP?NLP atau Neuro-Linguistic Programming adalah teknologi yang mempelajari struktur internal seseorang dan bagaimana struktur tersebut bisa didesain untuk tujuan yang bermanfaat bagi orang tersebut. Dalam NLP, setiap perilaku mempunyai struktur internal yang mendukungnya.
Seperti ungkapan Dr.Richard Bandler (co-creator NLP), mendesain struktur internal seseorang, layaknya mendesain sebuah ruangan. Kita bisa memilih apa yang ingin kita letakan di situ, kita bisa merubah letak, visual, suara, pengalaman, bau, rasa, di ruangan tersebut. Menggunakan representasi kelima indera kita, struktur internal seseorang dibangun.
Oleh sebab itu, sebuah proses perubahan di NLP adalah proses mendesain atau mendesain kembali struktur internal seseorang, sesuai yang diinginkan. Di NLP, hal ini disebut sebagai modeling. Yangmana artinya adalah seseorang dengan model internal yang tidak bermanfaat atau tidak sesuai keinginannya memodel atau mencontoh model internal yang sesuai yang diinginkannya.
NLP sering disebut sebagai teknologi yang mempelajari operasional dunia secara subyektif, karena dunia internal seseoranglah yang kemudian mempengaruhi pengalamannya di dunia eksternal. Jadi prinsip sederhananya adalah bagaimana mendesain secara subyektif dunia internal seseorang, untuk mendapatkan hasil yang diinginkan di dunia eksternal.
Neuro sederhananya adalah cara berpikir. Cara mengambil informasi dari dunia luar, cara memfilternya, cara memproses informasi, cara memproduksi tindakan, dan lain-lain. Dalam ‘neuro’ terdapat berbagai hal yang menjadi referensi kita berpikir dan bertindak, yang disebut Peta Realita dan Model Dunia.  Keduanya berdasarkan apa yang pernah kita pelajari dan ketahui sepanjang hidup, karena itu bersifat subyektif.  Dengan merubah cara berpikir atau cara kita memproses informasi, memperluas peta realita, memperkaya model dunia, kita pun merubah perilaku dan merubah hasil kita.
Linguistic adalah bahasa.  Cara memproses bahasa yang kita inderakan, dan bahasa yang kita pakai baik secara internal (inner talk) atau eksternal (berbicara).  Bahasa mempengaruhi pikiran, dan bahasa dipengaruhi cara berpikir.  Merubah cara kita memproses bahasa dan berbahasa, kita pun merubah tindakan kita, dan merubah pula hasil kita.
Programming adalah berbagai program atau strategi kita dalam berpikir dan berperilaku.  Ini adalah tahapan-tahapan kita dalam berpikir dan bertindak.  Ada strategi yang efektif ada yang tidak. Perubahan hasil sangat tergantung dari program atau strategi kita. Rubah strategi, rubah hasil.
NLP singkatnya adalah teknologi berpikir, berbahasa, berstrategi, bertindak, untuk mencapai hasil yang kita inginkan.  Dalam NLP terdapat berbagai konsep, teknik, dan tools untuk itu.

Problem Based Learning (PBL)

PBL

Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap Problem Based Learning (PBL). Salahsatunya menurut Duch (1995):

Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.

SUGGESTOPEDIA



Sesuai dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris adalah bahasa kedua (L2) atau bahasa asing pertama yang diajarkan di sekolah-sekolah formal, mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pelajaran bahasa Inggris tersebut secara jelas tercantum di dalam kurikulum dan mendapatkan jam atau porsi yang cukup besar. Hal ini menandakan bahwa pelajaran bahasa Inggris dianggap sebagai pelajaran yang penting.
Banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai kondisi pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah. Pada umumnya mereka sepakat bahwa pengajaran bahasa Inggris di sekolah belum bisa dikatakan berhasil sebagaimana mestinya. Hal ini salah satunya terbukti secara nyata dari penguasaan bahasa Inggris para siswa yang masih sangat rendah.
Menurut  M.F. Bharadja (1990:61-62), kekurangberhasilan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh adanya pertentangan antara hakikat belajar bahasa asing (HBA) yang “tidak kenal kompromi” dengan kebijakan yang menentukan pelaksanaan (KMP) proses belajar mengajar. HBA dianggap tidak kenal kompromi karena untuk melakukan pengajaran bahasa asing harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang tidak bisa ditawar-tawar, misalnya jumlah siswa dalam satu kelas tidak boleh terlalu  besar, guru harus seorang profesional, frekuensi pertemuan harus tinggi, harus menggunakan metode atau pendekatan pengajaran bahasa yang sesuai, dan sebagainya. Sementara keadaan di lapangan menunjukkan bahwa KMP tidak bisa memenuhi tuntutan HBA tersebut, sehingga pengajaran bahasa Inggris di Indonesia cenderung berjalan keluar dari prinsip dasar di atas. Karena kondisi di Indonesia yang tidak mendukung maka  pengajaran bahasa Inggris terpaksa dilaksanakan dalam kelas yang jumlah siswanya sangat banyak, kemampuan guru-guru bahasa Inggris yang sangat memprihatinkan bahkan banyak guru bahasa Inggris yang bukan berasal dari disiplin ilmu bahasa Inggris, dan penggunaan metode atau pendekatan pengajaran bahasa yang sudah ketinggalan zaman.

Silent Way

Silent Way

METODE DIAM (الطرقة الصامته)
a. Konsep dasar sailent way
Sailent way (metode guru diam/ al- thariqah al- shamitah) dicetuskan oleh caleb Gategno (1972), seorang ahli pengajaran bahasa yang menerapkan prinsip-prinsip kognitivesme dan ilmu filsafat dalam pengajaranya. Ia mencermati konsep filsafat stevick (1979) yang di jadikanya sebagai ide dasar untuk memunculkan metode ini antara lain ;
a. Diri (the self) seseorang sama dengan tenaga yang bekerja dalam tubuhnya melalui panca indra, dan bertujuan untuk mengatur masukan-masukan dari luar. Diri itu kemudian membuang sesuatu yang di anggap tidak berguna dan menyimpan sesuatu yang di anggap merupakan bagian dari dirinya.
b. Diri seseorang itu mulai bekerja pada waktu manusia di ciptakan dalam kandungan. Sumber awal tenaga itu adalah DNA (deoxyribonucleic acid) yang merupakan dasar molekul keturunan dalam organisme-organisme manusia sehigga diri dapat mengelolah masukan-masukan dari luar, di samping itu diri menambahkan tenaga untuk menampung masukan-masukan selanjutnya.

Project Based Learning

Desain Penulis: Deskripsi Model PBL / Pembelajaran Berbasis Proyek

Berdasarkan kegiatan pengajar dan pelajar dalam pendekatan PBL, maka PBL yang akan dibuat di dalam lingkungan web terbagi dalam tiga tahapan yakni persiapan, pembelajaran dan evaluasi, tetapi dari tiga tahapan tersebut dapat dideskripsikan menjadi enam tahapan sebagai berikut.
a.Persiapan
Pengajar merancang desain atau membuat kerangka proyek yang bermanfaat dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pelajar dalam mengembangkan pemikiran terhadap proyek tersebut sesuai dengan kerangka yang ada, dan menyediakan sumber yang dapat membantu pengerjaannya. Hal ini akan mendukung keberhasilan pelajar dalam menyelesaikan suatu proyek dan cukup membantu dalam menjawab pertanyaan, beraktifitas dan berkarya. Kerangka menjadi sesuatu yang penting untuk dibaca dan digunakan oleh pelajar. Oleh karenanya, pengajar harus melakukan perannya dengan baik dalam menganalisa dan mengintegrasikan kurikulum, mengumpulkan pertanyaan, mencari web site atau sumber yang dapat membantu pelajar dalam menyelesaikan proyek, dan menyimpannya di dalam web.

TPR (Totally Physical Response)

TPR (Totally Physical Response); Metode Pembelajaran Bahasa yang Cukup Efektif Untuk Peserta Didik

Bahasa merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dan memiliki peran sentral, khususnya dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional seseorang dan dalam mempelajari semua bidang studi. Bahasa diharapkan bisa membantu seseorang dalam hal ini yang saya bicarakan adalah peserta didik untuk mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, menemukan serta menggunakan kemampuan-kemampuan analitis dan imaginative dalam dirinya.
Ada beberapa macam metode yang biasa digunakan seorang guru atau instruktur dalam meningkatkan kemampuan belajar peserta didiknya seperti metode diskusi, ceramah, Inquiry dan lain-lain. Saya ingin memperkenalkan salah satu metode yakni metode TPR (Total Physical Response) sebagai salah satu teknik penyajian dalam pengajaran khususnya dalam pembelajaran bahasa asing, baik itu bahasa Inggris, Jepang, Perancis, dan lain-lain.
Metode pembelajaran adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menyampaikan bahan pelajaran, sehingga dikuasai oleh peserta didik dengan kata lain ilmu tentang guru mengajar dan murid belajar.

Task-based language learning (TBLL)

Task-based language learning (TBLL), also known as task-based language teaching (TBLT) or task-based instruction (TBI) focuses on the use of authentic language and on asking students to do meaningful tasks using the target language. Such tasks can include visiting a doctor, conducting an interview, or calling customer service for help. Assessment is primarily based on task outcome (in other words the appropriate completion of real world tasks) rather than on accuracy of prescribed language forms. This makes TBLL especially popular for developing target language fluency and student confidence. As such TBLL can be considered a branch of Communicative Language Teaching (CLT).

Sustained silent reading (SSR)

Sustained silent reading (SSR) is a form of school-based recreational reading, or free voluntary reading, where students read silently in a designated time period every day in school. An underlying assumption of SSR is that students learn to read by reading constantly. Successful models of SSR typically allow students to select their own books and require neither testing for comprehension nor book reports. Schools have implemented SSR under a variety of names, such as "Drop Everything and Read (DEAR)" or "Free Uninterrupted Reading (FUR)".

‘Lexical approach’

Introduction

‘Lexical approach’ is a term bandied about by many, but, I suspect, understood by few. What does taking a lexical approach to language teaching mean? What are the principles and tenets behind a lexical approach? What problems will teachers have to face if they wish to adopt a lexical approach?
     For the present purposes, I will be using the term lexical approach to mean that lexis plays the dominant role in the ELT classroom, or at least a more dominant role than it has traditionally, which has largely been one of subservience to ‘grammar’ (Sinclair & Renouf 1988). The approach stresses the necessity of using corpora to inform pedagogical materials and the importance of regularly recycling and reviewing the language taught. I should make clear from the start that my understanding of the term lexical approach is not necessarily the same as Michael Lewis’ (e.g. 1996, 1997, 2000), although I imagine that my take on the principles and problems inherent in implementing a lexical approach probably have a considerable amount in common with Lewis’ own views.

Inquiry Based Learning


1. Inquiry Based Learning


Metode Inquiry merupakan proses pembelajaran dibangun atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa. Di sini para siswa didorong untuk berkolaborasi untuk memecahkan masalah, dan bukannya sekedar menerima instruksi langsung dari gurunya. Tugas guru dalam lingkungan belajar berbasis pertanyaan ini bukanlah untuk menyediakan pengetahuan, namun membantu siswa menjalani proses menemukan sendiri pengetahuan yang mereka cari. Jadi, guru berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sumber jawaban.
Inquiry Based Learning (IBL) didasari atas pemikiran John Dewey, seorang pakar pendidikan Amerika, yang mengatakan bahwa pembelajaran, perkembangan, dan pertumbuhan seorang manusia akan optimal saat mereka dikonfrontasikan dengan masalah nyata dan substantif untuk dipecahkan. Ia percaya bahwa kurikulum dan instruksi seharusnya didasarkan pada tugas dan aktivitas berbasis komunitas yang integratif dan melibatkan para pembelajar dalam tindakan-tindakan sosial pragmatis yang membawa manfaat nyata pada dunia.

Cooperative Learning

Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)



Apakah Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)?

Pembelajaran kooperatif (Cooperative learning) adalah suatu strategi pembelajaran berdasarkan paham konstruktivis dimana siswa dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4-5 siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda, melakukan berbagai macam kegiatan belajar untuk memudahkan siswa dalam menguasai suatu mata pelajaran. Masing-masing anggota tim tidak hanya memiliki tanggung-jawab untuk belajar dan mempelajari apa yang sedang diajarkan, tapi juga harus membantu rekan sekelompok dalam belajar. Suatu kelompok bisa dikatakan belum tuntas menguasai suatu materi jika masih ada salah satu anggota belum menguasai materi tersebut.

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING)


Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka se­hari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Ques­tionin,g), mencmukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Conzmunity), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

Community language learning (CLL)

Community language learning (CLL) tumbuh dari suatu ide untuk menrapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Dalam eksperimen yang dimulai tahun 1957, Charles A. Curran menerapkan konsep psikoterapi dalam bentuk konseling.
1. Prinsip Dasar CCL
Karena latar belakang pendidikan formal Curren adalah psikoterapi, dia mempararelkan konsep pengajaran bahasa sebagai personal antara seorang ahli ilmu iwa de ngan seorang pasien. Hal ini tercermin dari istilah yang dipakai “client” sebutan untuk para counselor (mahasiswa/guru). Anggapan ini didasrkan bahwa pada saat seorang terjun dalam dunia atau arena yang batru seperti proses belajar-mengajar bahasa dia dikodratidengan berbagai cirri anusia sebagaimana manusia pada umumnya. Dalam lingkungan yang balru dimana dia merasa asing, dia di hinggapi oleh rasa taka man (insecurity), rasa keterancaman (threat), rasa ketidakmenentuan (anxiety), konflik dan berbagai perasaan lain yang secara tak tersadari menghalang-halangi dia untuk maju.
Landasan dasar dalam CCL, berbeda jauh dari konsep diatas, tugas utama seorang konselor adalah untukmenghilangkan, atau paling tidak mengurang segala persaan negative para klientnya. Seorang konselor dituntut untuk memiliki s,ikap yang fasilitatif, baik dalam menularka pengetahuannya dan para klien maju dalam satu tahap demi tahap.
Dalam kaitannya dengan dengan keadaan psikologi para siswa. Curran mengajukan enam konsep yang diperlukan untuk menumbuhkan “learning”. Enam konsep ini dicakup dalam satu singkatan yaitu, SARD:
- Security (rasa aman)
- Attention- aggression (perhatian –peran aktif siswa)
- Retention-reflection, dan (refleksi/intropeksi atau tes)
- Discrimination.(penjelasan).
2. Tahap Penguasaan
Tahap penguasaan dibagi menjadi lima bagian :
1. Embryonic stage (madasen di celce-murcia & Mcintosh, 1978:35), adalah tahap dimana ketergantungan siswa pada gurunya adalah 100 atau mendekati 100%. Pada tahap ini rasa ketidak menetuan siswa menghalang-halangi dia untuk memakai bahasa asing terutama di depan gurunya dan orang-orang lain yang dia tidak kenal. Tugas guru adalah untuk menghilangkan atau menguarangi perasaaan seperti ini dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan yang layak. Siswa diminta supaya aktifitas yang menjadi minat mereka untuk menyebutkannya dan melakukannya. Kemudian diminta untuk merefleksikan.
2. Self-Assertion Stage, tahap dimana siswa telah mendapat dukungan moral dari rekan senasibnya taupun dari guru mereka. Dan mereka telah mencoba untuk menemukan jati diri mereka sebagai penutur bahasa asing. Pada tahap ini tentu saja bahasa yang mereka gunakan barulah dalam bentuk yang sangat sederhana yang oleh slingker disebut interlanguage, serta ungkapan-ungkpan yang mereka gunakan masih dalam bntuk elementary.
3. Birth Stage, siswa secara bertahap mulai mengurangi pemakaina bahasa ibunya. Dia mulai terbiasa memkai bahasa kedua. Pada tahap ini guru atau konselor harus bertindak bijaksana dan memperhatika segala aspek yang timbul pada tahap ini, dan harus mampu mengatasi lproblem yang dihadapi oleh siswa dengan pendekatan psikologi.
4. Pada tahap ini, siswa tidak lagi banyak diam pada waktu proses embelajaran berlangsung, mereka sudah harus aktif berbicara.
5. Pada tahap terkahir adalah “independent Stage”, tahap dimana siswa telah menguasai semua bahan yang akan dibahas, dan siswa sudah bisa memperluas bahasanya dan memelajalri ula aspek-aspek social dan budaya ada penutur asli.
Erkembangan tahap demi tahap digambarkanoleh Curren dalam table berikut. Diagram Venn (1976:53).
Stage of Growth Cognitive tasks Affective conflict Values CCL Contracts

Stage I
(Embryonic)

Stage II
(self-Assertion)


Stage III
(separate-Exixtence)

Stage IV
(reversal)

Stage V
(independent) Construction
Application

Inter language I



Inter Language II



Error Analisys


Appropriate
Social use Anxiety


identity



indignation



role


responsibility Courage (self-
Confidence).

cooperation



docility



trust


leadership Short-term.


Culture
Mechanism (self-
Introduction).

Values Clarification


Short-term
Conseling

Mechanisms
(club-workshop)

3. Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Karena dalanm CCL hungan antara guru dan siswa adalah hubungan terapeutik antara seorang klien dengan konselornya, maka bntuk kelas dan proses belajar-mengajar pun berbeda dengan kelas dan cara yang konvensioanl. Dalam CCl tiap kelas terdiri dari enam sampai 12 ,siswa, dan tiap siswa mempnyani seorang konselor. Pengaturan meja dankursi dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuksemacam lingkaran. Konselor berada dibelakang klien/siswa, dan dapat pula dilakukan dengan pengaturan yang lain. Dalam CCL tidak digunakan satu tesk apapun, guru dan siswa berkolaborasi dan bebas menetuka materi apa yang akan dibahas.


4. Hasil Yang dicapai
Laporan yang didapat dari para peneliti dengan menggunakan metode ini adalah sangat memuaskan, dan paling tidak memberikan harapan yang cerah di masa depan. Eksperimen-eksperimen telah dilakukan menunjukkan hasil yang bagus.

Communicative Language Teaching


Communicative Language Teaching

Communicative Language Teaching
Hal inilah yang sering didengungkan oleh dosen di kampus dulu. Bahwa paradigma pengajaran bahasa hendaknya diubah. Jika melihat buku-buku teks sekolah pada tahun 1970-1990an akan tampak bahwa pengajaran bahasa dalam hal ini Bahasa Inggris sangat kentara menekankan pada tata bahasa, atau grammar bahasa yang dipelajari (Grammatical competence).
Akan tetapi, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi bukan sekedar seperangkat aturan. Jadi pengajaran bahasa sebaiknya berpedoman pada prinsip “Teach the learners to use the language” bukan “Teach the learners about the language”. Mengajarkan kepada siswa bagaimana menggunakan bahasa. Bukan mengajarkan siswa tentang bahasa yang dipelajari.

Competency-based Language Teaching

Competency-based Language Teaching


According to Richards & Rodgers (2001, p.141) “Competency-Based Language Teaching (CBLT) is an application of the principles of Competency-Based Education to language teaching”. In Competency-Based Education (CBE) the focus is on the “outcomes or outputs of learning”. By the end of the 1970s Competency-Based Language Teaching was mostly used in “work-related and survival-oriented language teaching programs for adults” (Richards & Rodgers, 2001, p.141). Since the 1990s, CBLT has been seen as “the state-of-the-art approach to adult ESL” (Auerbach, 1986, p.411) so that any refugee in the United States who wished to receive federal assistance had to attend a competency-based program (Auerbach, 1986, p.412) in which they learned a set of language skills “that are necessary for individuals to function proficiently in the society in which they live” (Grognet & Crandall, 1982, p.3).

Content-based instruction

Content-based instruction

Content-Based Instruction (CBI) is a significant approach in language education (Brinton, Snow, & Wesche, 1989). CBI is designed to provide second-language learners instruction in content and language.
Historically, the word content has changed its meaning in language teaching. Content used to refer to the methods of grammar-translation, audio-lingual methodology and vocabulary or sound patterns in dialog form. Recently, content is interpreted as the use of subject matter as a vehicle for second or foreign language teaching/learning.

Direct Method


Pengertian Direct Method ( Metode Langsung) atau pemahaman dari Direct Method yaitu berasal dari kata Direct yang artinya langsung. Direct method atau model langsung yaitu suatu cara mengajikan materi pelajaran bahasa asing di mana guru langsung menggunakan bahasa asing tersebut sebagai bahasa pengantar, dan tanpa menggunakan bahasa anak didik sedikit pun dalam mengajar. Jika ada suatu kata-kata yang sulit dimengerti oleh anak didik, maka guru dapat mengartikan dengan menggunakan alat peraga, mendemontstrasikan, menggambarkan dan lain-lain.

Self-Directed Learning

What is Self-Directed Learning?


Self-directed learning is not a new concept. In fact, much has been written about it. Unfortunately, however, it is a notion that has a variety of interpretations and applications in the corporate training arena. Typical, narrow interpretations involve simply giving learners some sort of choice in their learning. For example, allowing learners to select one or more courses from a curriculum, or, in cases of structured on-the-job training, allowing employees to choose what pre-designed modules (e.g., a video tape, workbook, special reading, etc.) to complete. In terms of e-learning, the fact that learners can determine which modules or scenarios to review is also frequently touted as self-directed learning.The fact that the learner has a choice and makes a decision to select this or that module does not constitute true self-directed learning.

The Audio-lingual method


Approach
Theory of language
The Structural view of language is the view behind the audio-lingual method. Particular emphasis was laid on mastering the building blocks of language and learning the rules for combining them.
Theory of learning
Behaviorism, including the following principles:
  • language learning is habit-formation
  • mistakes are bad and should be avoided, as they make bad habits
  • language skills are learned more effectively if they are presented orally first, then in written form
  • analogy is a better foundation for language learning than analysis
  • the meanings of words can be learned only in a linguistic and cultural context

Whole Language

What is the “Whole Language” Approach to Teaching Reading?


In the simplest terms, the “whole language approach” is a method of teaching children to read by recognizing words as whole pieces of language. Proponents of the whole language philosophy believe that language should not be broken down into letters and combinations of letters and “decoded.” Instead, they believe that language is a complete system of making meaning, with words functioning in relation to each other in context.

Constructivist Theory
The philosophy of whole language is complex and draws from education, linguistics, psychology, sociology, and anthropology. Whole language is a constructivist approach to education; constructivist teachers emphasize that students create (construct) their own knowledge from what they encounter. Using a holistic approach to teaching, constructivist teachers do not believe that students learn effectively by analyzing small chunks of a system, such as learning the letters of the alphabet in order to learn language. Constructivist instructors see learning as a cognitive experience unique to each learner’s own perspective and prior knowledge, which forms the framework for new knowledge.

Grammar-translation Method (GTM)




Grammar-translation Method (GTM) bukanlah metode pengajaran bahasa yang baru. Mungkin metode ini mempunyai nama yang berbeda-beda tetapi digunakan oleh guru bahasa bertahun-tahun. Pada awalnya, metode ini dinamakan Classical Method karena metode ini pertama kali digunakan dalam mengajarkan bahasa-bahasa klasik, Latin dan Greek (Chastain 1988). Sekarang, metode ini digunakan sebagai tujuan untuk menolong siswa membaca dan mengapersiasi literatur bahasa asing. Metode ini juga diharapkan, melalui pembelajaran grammar dari bahasa asing, siswa menjadi familiar dengan grammar bahasanya sendiri dan kefamiliaran ini akan menolongnya untuk berbicara dan menulis bahasanya sendiri dengan benar. Akhirnya, metode pengajaran ini akan membuat siswa tumbuh secara intelektual; metode pengajaran ini juga akan membuat siswa mungkin tidak pernah menggunakan bahasa yang asing yang dipelajari, tetapi latihan-latihan di dalam metode ini akan sangat berguna kedepannya.

Multiple Intelligences


Howard Gardner of Harvard has identified seven distinct intelligences. This theory has emerged from recent cognitive research and "documents the extent to which students possess different kinds of minds and therefore learn, remember, perform, and understand in different ways," according to Gardner (1991). According to this theory, "we are all able to know the world through language, logical-mathematical analysis, spatial representation, musical thinking, the use of the body to solve problems or to make things, an understanding of other individuals, and an understanding of ourselves. Where individuals differ is in the strength of these intelligences - the so-called profile of intelligences -and in the ways in which such intelligences are invoked and combined to carry out different tasks, solve diverse problems, and progress in various domains."
Gardner says that these differences "challenge an educational system that assumes that everyone can learn the same materials in the same way and that a uniform, universal measure suffices to test student learning. Indeed, as currently constituted, our educational system is heavily biased toward linguistic modes of instruction and assessment and, to a somewhat lesser degree, toward logical-quantitative modes as well." Gardner argues that "a contrasting set of assumptions is more likely to be educationally effective. Students learn in ways that are identifiably distinctive. The broad spectrum of students - and perhaps the society as a whole - would be better served if disciplines could be presented in a numbers of ways and learning could be assessed through a variety of means." The learning styles are as follows:
Visual-Spatial - think in terms of physical space, as do architects and sailors. Very aware of their environments. They like to draw, do jigsaw puzzles, read maps, daydream. They can be taught through drawings, verbal and physical imagery. Tools include models, graphics, charts, photographs, drawings, 3-D modeling, video, videoconferencing, television, multimedia, texts with pictures/charts/graphs.
Bodily-kinesthetic - use the body effectively, like a dancer or a surgeon. Keen sense of body awareness. They like movement, making things, touching. They communicate well through body language and be taught through physical activity, hands-on learning, acting out, role playing. Tools include equipment and real objects.
Musical - show sensitivity to rhythm and sound. They love music, but they are also sensitive to sounds in their environments. They may study better with music in the background. They can be taught by turning lessons into lyrics, speaking rhythmically, tapping out time. Tools include musical instruments, music, radio, stereo, CD-ROM, multimedia.
Interpersonal - understanding, interacting with others. These students learn through interaction. They have many friends, empathy for others, street smarts. They can be taught through group activities, seminars, dialogues. Tools include the telephone, audio conferencing, time and attention from the instructor, video conferencing, writing, computer conferencing, E-mail.
Intrapersonal - understanding one's own interests, goals. These learners tend to shy away from others. They're in tune with their inner feelings; they have wisdom, intuition and motivation, as well as a strong will, confidence and opinions. They can be taught through independent study and introspection. Tools include books, creative materials, diaries, privacy and time. They are the most independent of the learners.
Linguistic - using words effectively. These learners have highly developed auditory skills and often think in words. They like reading, playing word games, making up poetry or stories. They can be taught by encouraging them to say and see words, read books together. Tools include computers, games, multimedia, books, tape recorders, and lecture.
Logical -Mathematical - reasoning, calculating. Think conceptually, abstractly and are able to see and explore patterns and relationships. They like to experiment, solve puzzles, ask cosmic questions. They can be taught through logic games, investigations, mysteries. They need to learn and form concepts before they can deal with details.
At first, it may seem impossible to teach to all learning styles. However, as we move into using a mix of media or multimedia, it becomes easier. As we understand learning styles, it becomes apparent why multimedia appeals to learners and why a mix of media is more effective. It satisfies the many types of learning preferences that one person may embody or that a class embodies. A review of the literature shows that a variety of decisions must be made when choosing media that is appropriate to learning style.
Visuals: Visual media help students acquire concrete concepts, such as object identification, spatial relationship, or motor skills where words alone are inefficient.
Printed words: There is disagreement about audio's superiority to print for affective objectives; several models do not recommend verbal sound if it is not part of the task to be learned.
Sound: A distinction is drawn between verbal sound and non-verbal sound such as music. Sound media are necessary to present a stimulus for recall or sound recognition. Audio narration is recommended for poor readers.
Motion: Models force decisions among still, limited movement, and full movement visuals. Motion is used to depict human performance so that learners can copy the movement. Several models assert that motion may be unnecessary and provides decision aid questions based upon objectives. Visual media which portray motion are best to show psychomotor or cognitive domain expectations by showing the skill as a model against which students can measure their performance.
Color: Decisions on color display are required if an object's color is relevant to what is being learned.
Realia: Realia are tangible, real objects which are not models and are useful to teach motor and cognitive skills involving unfamiliar objects. Realia are appropriate for use with individuals or groups and may be situation based. Realia may be used to present information realistically but it may be equally important that the presentation corresponds with the way learner's represent information internally.
Instructional Setting: Design should cover whether the materials are to be used in a home or instructional setting and consider the size what is to be learned. Print instruction should be delivered in an individualized mode which allows the learner to set the learning pace. The ability to provide corrective feedback for individual learners is important but any medium can provide corrective feedback by stating the correct answer to allow comparison of the two answers.
Learner Characteristics: Most models consider learner characteristics as media may be differentially effective for different learners. Although research has had limited success in identifying the media most suitable for types of learners several models are based on this method.
Reading ability: Pictures facilitate learning for poor readers who benefit more from speaking than from writing because they understand spoken words; self-directed good readers can control the pace; and print allows easier review.
Categories of Learning Outcomes: Categories ranged from three to eleven and most include some or all of Gagne's (1977) learning categories; intellectual skills, verbal information, motor skills, attitudes, and cognitive strategies. Several models suggest a procedure which categorizes learning outcomes, plans instructional events to teach objectives, identifies the type of stimuli to present events, and media capable of presenting the stimuli.
Events of Instruction: The external events which support internal learning processes are called events of instruction. The events of instruction are planned before selecting the media to present it.
Performance: Many models discuss eliciting performance where the student practices the task which sets the stage for reinforcement. Several models indicate that the elicited performance should be categorized by type; overt, covert, motor, verbal, constructed, and select. Media should be selected which is best able to elicit these responses and the response frequency. One model advocates a behavioral approach so that media is chosen to elicit responses for practice. To provide feedback about the student's response, an interactive medium might be chosen, but any medium can provide feedback. Learner characteristics such as error proneness and anxiety should influence media selection.
Testing which traditionally is accomplished through print, may be handled by electronic media. Media are better able to assess learners' visual skills than are print media and can be used to assess learner performance in realistic situations.

Kamis, 16 Mei 2013

Method of Teaching (GRAMMAR TRANSLATION METHOD) by. Muhammad Syahroni


Method of Teaching (GRAMMAR TRANSLATION METHOD) by. Muhammad Syahroni 

mudah-mudahan penjelasan di atas bisa membantu teman-teman semuanya dalam materi ini...

thanks..for watching.....

Wassalam..